content top

Kamis, 10 Juni 2010

Kalau Lelaki Itu Pulang…


Cerpen Karya : Adek Alwi


Jika lelaki itu pulang ke kota kami, tidak akan dilihatnya lagi kakak duduk termenung di muka jendela, memandang gunung ataupun kejauhan tiada batas. Paman Jafar telah membawa kakak ke Pakanbaru bulan lalu dan ibu melepasnya dengan lega berurai air mata. ”Elok-elok di sana,” pesan ibu. ”Paman dan bibi akan menjagamu. Kau akan dimasukkan kerja. Engkau akan mengajar lagi nanti, Nak. Kau senang dapat mengajar lagi, bukan?”
Kakak diam saja. Hanya memandang. Lurus. Kosong, jauh. Lebih-lebih kalau duduk depan jendela. Angin kadang memburai-burai rambutnya sampai masai, namun kakak bergeming. Matanya terus menerawang ke cakrawala. Wajahnya tambah putih, kian lesi. Tidak jarang air matanya merambat sepanjang pipi. ”Kakak! Kakak!” adik-adik mengimbau, berlari mendekati, memeluk, serta menarik-narik tangannya. Kakak tak hirau.
Tetapi ibu terus bicara. Ibu bilang kami juga harus sering bicara dengan kakak, menyeru namanya. ”Tapi kakak diam saja,” kata adik-adik. ”Seperti tak mendengar.”
”Kakak mendengar,” ujar ibu. ”Dia sayang sekali kepada kalian.”
”Mengapa kakak tidak menyahut?” adik terkecil bertanya kepada Kak Lela.
”Kakak sedang malas bicara,” jawab Kak Lela. ”Ajaklah terus berkata-kata.”
”Malas bicara, seperti kalau aku ngambek?”
”Ya. Begitu.”

Sambil lambat-lambat menyisir rambut kakak yang sepinggang ibu berucap, ”Ai, ai, harum dan bagus sekali rambutmu, Mariani. Ikal. Legam. Ah, tidak elok kita terus mengenang yang sudah-sudah sampai rambut tak terurus. Itu, paman dan bibimu tiba, Nak. Salamilah paman dan bibimu.”
Kakak tetap tidak beringsut. Sudah lama kakak serupa patung hidup. Sejak dia tidak jadi mengajar, disusul perginya lelaki itu sembari mengembalikan cincin belah-rotan, tanda pertunangan—tak lama sesudah ayah ditangkap kemudian lenyap entah di mana dan di tangan siapa.
Orang terlalu banyak saat itu mengurung rumah. Membawa ayah. Seolah-olah beliau orang penting, padahal hanya masinis kereta api. Bukan kepala stasiun. Apalagi pengurus ataupun ketua organisasi buruh DKA. Sedang kami hanya bisa memandang, bertangisan. ”Ayaaah! Ayaaah!” kakak meraung-raung mengimbau, tetapi ayah tidak terjangkau. Raib dalam kerumunan manusia yang gemuruh. Paman Jafar yang pulang setelah kejadian itu juga mencari, namun ayah tetap tidak dapat dicari. Sampai kini.
”Baru pekan lalu kuterima surat Kakak,” kata Paman Jafar seperti minta maaf. ”Payah hubungan pos sekarang. Lambat. Aku tidak dapat pula cepat-cepat berangkat, izin dulu ke komandan.”
”Jalan pun buruk, Kak. Berlubang-lubang,” istri paman menambahkan.
”Paham aku itu,” balas ibu mengangguk, lalu menoleh kepada kakak. ”Begitu keadaannya, lihatlah.”
Istri Paman Jafar menghampiri kakak. ”Tapi mau dia makan, Kak?”
”Mau. Disuapi.”
”Disuapi?” Bibi senyum memeluk bahu kakak. ”Disuapi engkau Mariani, anak rancak? Eh, kenapa keningnya ini?” Senyum bibi tiba-tiba lenyap.
”Anak-anak nakal itu,” sahut ibu. ”Tapi tidak dalam. Sudah kering sekarang.”
”Terlalu! Tengoklah, Bang!”
Mendengar ibu menjerit melihat darah muncrat di jidat kakak, aku melesat ke luar rumah. Kuburu anak-anak itu. Ada empat orang, sama besar denganku. Langsung kutumbuk hidung anak terdekat. Dia melengking, berdarah-darah. Yang lain siap-siap menyergap. Tapi seorang terjerembab saat lututnya kusepak. Lantas ku-nyanyah pula mukanya hingga lumat. ”Kalian lukai kakakku! Kalian lukai kakakku!”
Orang-orang berhamburan memisahkan. Ibu-ibu menceracau, berteriak-teriak. ”Dasar kurang ajar! Anak tidak tahu diuntung! Tukang berkelahi!”
”Maling mangga! Pembuat onar! Pembawa sial!”
”Mereka yang salah,” kubilang. ”Mereka lempar kakakku dengan batu.”
”Bohong! Dasar pencuri jambu! Anak Gestapu!”
Melihat puting susu perempuan itu terjuntai panjang dan hitam belum dibenahi sehabis menyusui, kubalas berteriak, ”Kau ibu anjing!” Plak! Tubuhku terhuyung ke belakang. Hampir terjengkang. Kepalaku nanar. Kuping mendenging. Seorang lelaki membelalak garang di depanku, mengibaskan tangan bagai mengusir anjing. ”Pergi!”

Bibi merebahkan kepala kakak di dadanya. Membelai-belai rambut dekat luka. ”Masih rajin engkau mengaji, Mariani? Nanti mengaji, ya. Bibi ingin mendengarmu mengaji. Pamanmu juga.” Tidak berjawab. Hanya bulu mata lentik kakak mengerjap-ngerjap. Kemudian air matanya membersit lambat-lambat, bagai rembesan pada panci rusak.
”Lepaskan, Nak. Tumpahkan terus. Menangislah keras-keras!” ujar bibi masih tersenyum. Kakak terisak. Bahunya bergerak-gerak. Adik-adik dan Kak Lela berlarian mendekat. ”Kakak! Kakak!” Mereka rangkul tangan dan tubuh kakak. Kakak tersedu-sedu dalam pelukan bibi.
”Maulud Nabi kemarin sudah tak disuruh orang dia mengaji,” kata ibu seperti berbisik kepada Paman Jafar.
”Buya Nawawi juga tidak menyuruh?”
”Dia tetap. Sengaja buya tua itu kemari. ’Siapa pula anak gadis sefasih engkau mengaji Mariani, ia bilang. Mengajilah saat maulud, sebagai biasa’. Tapi yang muda-muda menolak. Sekarang orang-orang muda berkuasa di surau. Katanya, ingin bersih-lingkungan.”
Paman Jafar melempar pandang ke luar rumah. Sebuah bendi lewat di muka rumah, penumpangnya tak menengok. Paman kembali melihat ibu. ”Sebaiknya Kakak ikut denganku ke Pakanbaru,” dia bilang.
”Bagaimana aku bisa pindah, Jafar,” jawab ibu. ”Rumah ini bagaimana.”
”Jual.”
”Ei, siapa bersedia membeli rumah yang penghuninya dianggap serupa hama!” Ibu tersenyum masam. ”Diberi cuma-cuma atau ingin merampas, banyak, Jafar. Tapi aku yang tak rela!”
Adik ibu itu terdiam. Menyulut rokok. Melihat pula ke luar. Orang-orang tetap lewat di muka rumah, tak menengok. Hanya melirik jip hijau Paman Jafar di halaman.
”Sstt!” ucap bibi perlahan. ”Tidur.” Berbisik pula pada adik-adik, ”Ambil bantal, selimut!” Lalu dia rebahkan kepala kakak hati-hati. Dia luruskan kakinya. Diselimuti.
Saat tidur begitu muka kakak persis bayi. Bersih. Polos. Tak sedikit pun tersisa galau yang mendera: ayah yang lenyap, diputus tunangan, ditolak jadi guru. Padahal, sudah tiga bulan ia mengajar, menanti pengangkatan. Berangkat gembira di pagi hari. Juga siang, sewaktu pulang. Dan terkadang terdengar riang menyanyi di kamar mandi: tak ’kan lari gunung dikejar/ hasrat hati rasa berdebar…. Atau diajaknya adik-adik, aku, Kak Lela berdoa, supaya ayah lekas kembali—entah dari mana.
Lalu, penolakan jadi guru itu tiba suatu hari, serupa badai. Karena status ayah. Dan laki-laki itu muncul di suatu petang, berwajah dingin memulangkan cincin belah-rotan. Juga karena status ayah, meski tak diucapkan. Tetapi, dia maupun keluarganya selalu lewat di depan rumah dengan dagu terangkat pongah, saat kakak mulai terbiasa duduk di muka jendela. Kemudian lelaki itu memang tidak terlihat lagi. Kata orang ia sudah merantau ke Jakarta. Sementara kakak semakin betah di muka jendela, menatap kejauhan tak berbatas.
”Sudah ke mana-mana kuobati,” kata ibu, memandang paman serta bibi penuh harap. ”Belum juga ia berubah. Ada kira-kira dokter di Pakanbaru dapat menangani?”
”Ada!” Paman dan bibi menjawab serempak. ”Tenanglah Kakak,” lanjut bibi. ”Kalau perlu kami bawa ke dokter Caltex. Sesekali kubawa pula ke sekolah. Kawanku membuka sekolah taman kanak-kanak.”
”Kukhawatirkan justru Kakak,” ulang Paman Jafar. ”Ikutlah ke Pakanbaru!”
”Tak perlu khawatir, Jafar,” balas ibu. ”Tidak semua orang jahat atau bernafsu mengucilkan. Lagi pula, bila aku pindah, bagaimana kalau abangmu pulang? Ke mana dia cari kami? Walaupun sudah setahun lebih, belum pupus harapanku abangmu bakal pulang. Paling tidak, tahu keberadaannya. Bagaimana keadaannya. Bila mati di mana berkubur….”
Kakak terus tidur di beranda, tak bergerak-gerak seperti bayi. Napasnya lunak. Kulitnya bersih. Putih. Apa gerangan terlintas di pikirannya sehingga mukanya begitu bersih dan tenang? Apakah dalam tidurnya dia bertemu ayah? Di antara kami kakak paling dekat dengan ayah. Barangkali karena perempuan, putri sulung; tapi tangannya campin pula, terampil-cekatan menangani rumah. Ayah bangga dengannya, berharap kakak jadi guru tamat SGA. Sedangkan Kak Lela diharapkan menjadi perawat, kalau cukup biaya.
”Kakek-nenek kalian guru. Mestinya ayah juga. Tetapi malah juru-api kereta api.” Ayah tertawa suatu ketika. ”Syukur ada kakak kalian, ya?” Kami mengangguk, turut bangga walaupun kakak waktu itu baru kelas satu Sekolah Guru Atas.
”Rencanaku besok kembali,” ucap Paman Jafar. ”Kubawa Mariani sekalian. Tugasku menunggu. Di Pakanbaru juga kacau keadaan.”
Ibu mengangguk-angguk. ”Terpikir olehku, Dik,” ujarnya kemudian. ”Apa tak berbahaya buatmu kalau orang tahu status ayah Mariani?”
”Tidak!” Paman menggeleng keras-keras. ”Komandanku tahu. Dia kawanku, Kak. Anak Ampek Angkek.”
Ibu bernapas lega. Besoknya, kakak dibawa paman dan istrinya. Ibu menangis. Kami juga. Rumah jadi lengang—lengang sekali. Kakak telah pergi. Tidak lagi berada di tengah-tengah kami. Dekat kami. Tapi, kalau laki-laki itu pulang suatu hari, dia pun takkan melihat kakak lagi termenung di depan jendela, memandang gunung ataupun kejauhan tiada batas. Tidak dapat lagi dia atau keluarganya mengangkat dagu dengan pongah bila lewat di muka rumah.
Sekali waktu lelaki itu pasti pulang ke kota kami; tak mungkin tidak. Juga lalu di muka rumah. Tidak ada jalan dapat dia lalui untuk tiba di rumah ibunya, kecuali dia buat jalan sendiri dengan meruntuhkan Bukit Tambun Tulang serta menimbun Lurah Situngka Banang—sesuatu yang amat mustahil. Tetapi, mungkin juga bukan mustahil bila hatinya semakin dingin serupa penguasa-penguasa lalim yang dengan telunjuknya dapat membelok-belokkan apa saja. Termasuk jalan hidup anak manusia, seperti ayah, kakak, atau kami yang kehilangan mereka.

Jakarta, 30 Juli 2005

0 komentar:

Posting Komentar

content top